Skip to main content

Menjadi Sejarawan Yang Pancasilais

Belajar Sejarah erat kaitanya dengan masa lalu. Secara umum, sejarah berkisah tentang tokoh-tokoh besar ataupun peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di masa lampau. Adapun secara ilmiah, Sejarah merupakan rekonstruksi masa lampau yang dikerjakan dengan menggunakan metodologi sejarah. Dengan demikian, dalam hal ini para sejarawan dituntut untuk bisa merekonstruksi ulang penulisan sejarah tersebut secara tepat dan benar. Sejarawan sendiri merupakan orang yang merekonstruksi ataupun menulis ulang sejarah dengan menggunakan data dan sumber-sumber sejarah. Dalam merekonstruksi ulang sejarah, sebisa mungkin para sejarawan harus menghindari opini pribadi, karena dalam merekonstruksi ulang sejarah harus sesuai dengan fakta-fakta dan disertai dengan sumber-sumber autentik.
Historiografi yang ada di Indonesia sangatlah kurang, baik dari segi akurasi maupun keabsahan sumber-sumber. Akurasi atau ketepatan merupakan syarat mutlak karya sejarawan. Akurasi tercapai antara lain dengan mengindahkan masukan dari piranti bantu seperti arkeologi, epografi, paleografi, kronologi, dan statistik. Kebenran sejarah adalah kesesuaian ungkapan dan fakta sehingga kebenaran harus dibongkar. Pendekatan itu ada baiknya diperhatikan agar pendasaran teori sejarah bisa seobyektif mungkin. Pendekatan ini tidak sekadar deskripsi hitam putih, tetapi sebuah karya sejarah yang memungkinkan sejarawan memiliki cara penggambaran, penafsiran, dan pola memaknai yang berbeda-beda meskipun peristiwa yang disorot sama.
Di Indonesia, penelitian ilmiah di bidang sejarah dengan sumber tertulis (autentik) masih sulit berkembang. Hal itu disebabkan adanya kelangkaan dari sumber-sumber autentik itu sendiri. Sumber-sumber yang ada di indonesia sangat terbatas. Keterbatasan ataupun kelangkaan sumber tersebut disebabkan karena sumber-sumber autentik yang ada di Indonesia sejak dari zaman Hindhu budha hingga kemerdekaan, hampir sebagian besar dibawa ke negeri Belanda dengan alasan yang sederhana yaitu untuk menyelamatkan keautentikan sumber tersebut. Selain itu, keterbatasan sumber juga disebabkan karena sumber-sumber autentik tersebut biasanya hanya ada satu dan umumnya tidak digandakan. Adapun yang termasuk dalam sumber-sumber langka adalah diantaranya kronikel, catatan harian, dokumen keluarga, memoar, arsip/dokumen resmi; juga sumber-sumber tidak tertulis seperti customs, folklor, bahkan mishmash sihir dan mitos (lihat Tosh 1987; Marwick dalam Kozicki [ed.] 1998).
Pada awal perkembanganya, penelitian dan penulisan sejarah tidaklah secara ilmiah seperti saat ini. Para sejarawan masih terbatas pada usaha menemukan sumber sejarah berupa buku-buku kuno ataupun surat-surat resmi dan berbagai laporan. Sumber-sumber tersebut kemudian dibaca dan dipahami untuk kemudian dikutip pada bagian-bagian yang sesuai dengan tema yang akan ditulisnya. Tidak ada usaha mengkaji sumber-sumber sejarah itu. Untuk temanya biasanya terbatas mengenai riwayat hidup orang-orang penting, kejayaan dan kejatuhan kerajaan, peperangan dan diplomasi antar-kerajaan. Singkat kata, tema umum penulisan sejarah pada masa-masa itu cenderung pada aspek politik dan militer.
Perubahan dalam cara-cara penulisan sejarah terjadi mulai abad ke-17. Suasana budaya yang berciri perkembangan ilmu pengetahuan alam serta sikap intelektual yang kritis muncul di kalangan penulis sejarah. Seorang sarjana Prancis, Jean Mabillon (1632-1707), dipandang sebagai peletak dasar ilmu sejarah yang disebut diplomatika- sesuai judul buku yang ditulisnya, De re diplomatica (1681). Para sejarawan mulai menemukan berbagai cara untuk mengkaji dokumen atau sumber sejarah secara kritis sehingga dapat menghasilkan penulisan sejarah yang mendekati kebenaran. Selain itu, sejarawan Leopold von Ranke (1795-1815), memperkenalkan prinsip seleksi kritis atas data sejarah untuk menetapkan fakta berdasarkan pedoman wie es eigentlich gewesen, sejarah sebagaimana sesungguhnya terjadi (Barnes, 1963).
Kini, secara umum, perkembangan metode ilmiah dalam ilmu sejarah boleh dikata makin berkembang. Hal itu tidak terlepas dari diterimanya sejarah sederajat dengan ilmu-ilmu lain dan menjadi bagian dari kurikulum perguruan tinggi di berbagai negara setidaknya sejak abad ke-19.
Untuk menjadi seorang sejarawan yang pancasilais, dalam merekonstruksi ulang sejarah harus sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila serta harus sesui dengan fakta dan disertai dengan sumber-sumber autentik. Fakta hanya berbicara apabila sejarawan mencari, menemukan, dan mengolahnya. ”Hanya sejarawan yang memutuskan apakah Supersemar itu suatu fakta historis, kendati pada tanggal yang sama ada sekian juta orang yang menulis surat. Kenyataan ini bisa saja tidak digubris oleh sejarawan.” Sejarawan mutlak perlu melakukan seleksi atas fakta. Fakta menyangkut interpretasi. Amat sering sejarah dicemari fakta nonhistoris, sehingga bid'ah dalam sejarah pun bermunculan, karena sejarah kemudian terdiri atas himpunan fakta yang tidak dapat ditolak dan tidak obyektif. Sejarah merupakan perekayasaan dalam pikiran sejarawan. Penyusunan masa lalu tergantung dari data empiris, yang mengharuskan seleksi dan penafsiran fakta historis. Menulis sejarah merupakan satu-satunya jalan membuat sejarah. Dengan demikian, untuk mendiskripsikan ataupun merekonstruksi masa lalu secara tepat dan obyektif, seorang sejarawan harus mengerti betul tentang konsep dan prinsip-prinsip dalam penulisan sejarah, serta harus konsisten dalam penelitian secara ilmiah tersebut.
Dalam penulisan ulang sejarah, para sejarawan dituntut jeli untuk membedakan antara nilai-nilai yang sesuai dengan Pancasila dan yang bertentangan dengan Pancasila. Misalnya, Supersemar. Itu merupakan sejarah yang kebenaranya masih tanda tanya karena belum diketahui bukti autentik dari supersemar tersebut. Kemudian peristiwa G30 SPKI. Saat ini, banyak beredar buku-buku ataupun artikel mengenai peristiwa tersebut. Namun, kebenaranya masih menimbulkan pro dan kontra. Disatu sisi, penulisan tersebut berada dipihak militer, disisi lain penulisan tersebut berada dipihak komunis. Kemudian penulisan ulang sejarah pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, banyak penyelewengan penulisan ulang sejarah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila. Kenyataanya, penulisan tersebut praktis digunakan untuk mengontrol jalanya kekuasan, serta untuk mengukuhkan rezim Soeharto.
Secara umum, dalam penulisan sejarah terdapat beberapa langkah ataupun cara yang harus dipahami oleh seorang sejarawan. Berikut adalah beberapa langkah dalam penulisan sejarah, diantaranya sebagai berikut :
1. Pemilihan Topik
 Sebelum melakukan proses penelitian sejarah, seorang sejarawan perlu melakukan pemilihan topic penelitian. Topik yang dipilih haruslah bernilai. Artinya, dalam pemilihan topik penelitian harus mengandung unsur-unsur keunikan suatu peristiwa, tidak bersifat majemuk, dan tidak bersifat multidimensional. Topic tersebut juga harus bersifat orisinil. Artinya topic yang diteliti merupakan sebuah upaya pembuktian baru atau bisa juga merupakan interpretasi baru yang terkait dengan perkembangan historiografi dan teori metodologi ilmu sejarah.
2. Heuristik
Berasal dari bahasa Yunani yaitu heuriskein yang berarti menemukan. Maksudnya adalah tahap untuk mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber berbagai data agar dapat mengetahui segala bentuk peristiwa atau kejadian sejarah masa lampau yang relevan dengan topik/judul penelitian. Untuk melacak sumber tersebut, sejarawan harus dapat mencari di berbagai dokumen baik melalui metode kepustakaan atau arsip nasional. Sejarawan dapat juga mengunjungi situs sejarah atau melakukan wawancara untuk melengkapi data sehingga diperoleh data yang baik dan lengkap.
3. Verifikasi
Verifikasi adalah penilaian terhadap sumber-sumber sejarah. Verifikasi dalam sejarah memiliki arti pemeriksaan terhadap kebenaran laporan tentang suatu peristiwa sejarah. Penilaian terhadap sumber-sumber sejarah menyangkut aspek ekstern dan intern. Aspek ekstern mempersoalkan apakah sumber itu asli atau palsu sehingga sejarawan harus mampu menguji tentang keakuratan dokumen sejarah tersebut, misalnya, waktu pembuatan dokumen, bahan, atau materi dokumen. Aspek intern mempersoalkan apakah isi yang terdapat dalam sumber itu dapat memberikan informasi yang diperlukan. Dalam hal ini, aspek intern berupa proses analisis terhadap suatu dokumen.
4. Interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkai fakta tersebut menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal. Interpretasi dalam sejarah dapat juga diartikan sebagai penafsiran suatu peristiwa atau memberikan pandangan teoritis terhadap suatu peristiwa. Sejarah sebagai suatu peristiwa dapat diungkap kembali oleh para sejarawan melalui berbagai sumber, baik berbentuk data, dokumen perpustakaan, buku, berkunjung ke situs-situs sejarah atau wawancara, sehingga dapat terkumpul dan mendukung dalam proses interpretasi. Dengan demikian, setelah kritik selesai maka langkah berikutnya adalah melakukan interpretasi atau penafsiran dan analisis terhadap data yang diperoleh dari berbagai sumber.
5. Historiografi
Historiografi adalah penulisan sejarah. Historiografi merupakan tahap terakhir dari kegiatan penelitian untuk penulisan sejarah. Menulis kisah sejarah bukanlah sekadar menyusun dan merangkai fakta-fakta hasil penelitian, melainkan juga menyampaikan suatu pikiran melalui interpretasi sejarah berdasarkan fakta hasil penelitian. Untuk itu, menulis sejarah memerlukan kecakapan dan kemahiran. Historiografi merupakan rekaman tentang segala sesuatu yang dicatat sebagai bahan pelajaran tentang perilaku yang baik. Sesudah menentukan judul, mengumpulkan bahan-bahan atau sumber serta melakukan kritik dan seleksi, maka mulailah menuliskan kisah sejarah.


Kesimpulanya, untuk menjadi seorang sejarawan yang Pancasilais harus melalui serangkaian tahap/proses. Seorang sejarawan juga harus jeli dalam mengumpulkan sumber-sumber yang autentik. Selain itu, seorang sejarawan yang Pancasilais harus memahami betul tentang nila-nilai dalam Pancasila. Artinya, harus bisa mamilah antara sejarah yang sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila dan yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam Pancasila. Adapun untuk menuliskan sejarah melalui beberapa tahap, yaitu mulai dari pemilihan topik hingga penulisan sejarah tersebut.

Nama                                    : Mijil Sunoto
NIM                                       : 15407144002
Prodi                                     : Ilmu Sejarah

Comments

Popular posts from this blog

Tata Penulisan (Lettering) Pada Peta

Seperti apasih Tata Penulisan (Lettering) yang benar dalam peta itu? Pada peta juga terdapat aturan-aturan dalam cara penulisan pada suatu objek-objek geografi. Setidak-tidaknya disini Terdapat empat aturan penulisan dalam peta yang harus kita patuhi, lihatlah pada (Gambar 1.12). Dibawah ini adalah beberapa aturan atau tanda untuk penulisan nama - nama suatu objek dalam peta 1) pada nama-nama ibu kota, negara, benua, dan pegunungan itu haruslah ditulis dengan menggunakan huruf kapital tegak. 2) untuk nama-nama samudra, nama teluk yang luas, laut, dan nama selat yang luas, maka harus ditulis dengan menggunakan huruf kapital miring. 3) untuk nama-nama kota kecil dan gunung haruslah ditulis dengan menggunakan huruf kecil tegak. Pada awal nama kota dan gunung ditulis dengan huruf besar. 4) sedangkan untuk nama-nama perairan seperti sungai, danau, selat yang sempit, dan nama teluk yang sempit juga haruslah ditulis dengan huruf kecil miring. Itulah beberapa aturan penamaa

Ciri - Ciri Tari Primitif

Berikut ini adalah ciri - ciri lengkap tari Primitif di Indonesia. Tari primitif adalah tari yang berkembang di daerah yang saat itu menganut kepercayaan animisme, dan dinamisme. Tari ini merupakan tari yang ditujukan untuk memuja roh para leluhur dan estetika seni. Tari primitif biasanya adalah wujud dan kehendak berupa pernyataan maksud dari permohonan tarian tersebut dilaksanakan. Ciri tari yang ada pada zaman primitif adalah adanya kesederhanaan pada kostum atau pakaian, gerak dan iringan. Tujuan utama dari tarian primitif ini adalah untuk mewujudkan suatu kehendak tertentu, sehingga ekspresi yang dilakukan itu berhubungan dengan permintaan yang diinginkan kepada leluhur. Ciri-ciri tari primitif antara lain adalah:  gerak dan iringannya sangatlah sederhana, yaitu berupa hentakan kaki, tepukan tangan / simbol suara ataupun gerak-gerak saja yang dilakukan tanpa iringan alat musik. • Gerakan dilakukan untuk tujuan tertentu misalnya adalah untuk menirukan gerak binatang karen

Apa itu Teknik Bivalve dan A Cire Perdue?

Bivalve Teknik Bivalve dan A Cire Perdue adalah teknik pencetakan atau pembuatan benda - benda dari logam maupun perunggu. Teknik ini sudah digunakan sejak zaman kebudayaan perunggu. Cara bivalve, adalah teknik yang dilakukan dengan cara menggunakan cetakan batu, yang terdiri atas dua buah bagian dimana diikat menjadi satu. Pada lelehan logam lalu dituangkan, dan kenudian tunggu hingga membeku. Setelah membeku, maka cetakan tersebut bisa dibuka. Kelebihannya adalah alat ini dapat digunakan hingga beberapa kali. Cara a cire perdue atau cara tuangan lilin, adalah teknik membuat model suatu benda dari lilin yang kemudian dibungkus menggunakan tanah liat dan pada bagian atasnya diberi sebuah lubang, kemudian dibakar sehingga membuat lapisan lilin di dalamnya akan meleleh dan keluar melalui lubang. Dari bagian lubang itu juga dituangkan dengan lelehan logam sampai penuh. Setelah logam lelehan membeku, kemudian model dari tanah liat dipecahkan dan hasil cetakan dari logam b