Kesultanan Mataram Islam adalah kerajaan yang berdiri sejak abad 16, yaitu tepatnya 1582 M. Pusat kerajaan Mataram terletak disebelah tenggara kota Yogyakarta, yaitu Kotagede. Adapun pendiri dan sekaligus raja pertama Mataram yaitu Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokokusuma atau yang lebih dikenal dengan Sultan Agung. Adapun Mataram mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Amangkurat I. Banyak faktor yang menjadi penyebab kemunduran Mataram, diantaranya, perebutan kekuasaan, campur tangan VOC dalam pemerintahan di Mataram, serta adanya pemberontakan-pemberontakan.
Disusun Oleh :
Nama : Mijil Sunoto
I. Masa Muda Putra Mahkota
Kemunduran Mataram diawali dengan lahirnya putra mahkota bernama Raden Mas Rahmat atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Adipati Anom. Puta Mahkota lahir dari permaisuri bernama Kanjeng Ratu Pangayun putri dari Pangeran Pekik. Namun, saat Putra Mahkota baru berumur 40 hari, Kanjeng Ratu Pangayun meninggal dan dimakamkan di Girilaya. Setelah dewasa dan siap untuk berumah tangga, ada rencana untuk mengawinkan Putra Mahkota dengan putri Sultan Banten. Namun sayang, rencana itu gagal setelah pihak Banten tidak bersedia mengirimkan salah seorang putrinya ke istana Mataram. Setelah mengalami kegagalan, dicarilah 100 wanita bahkan desas-desusnya sampai 2000 wanita. Perkawinan itu dilangsungkan awal tahun 1657. Namun, siapa yang menjadi permaisuri pangeran tidak diketahui.
Pada tanggal 21 Februari 1659 Amangkurat 1 memerintahkan menghukum mati Pangeran Pekik dan seluruh keluarganya. Berakhirnya nyawa Pangeran Pekik dihubungkan dengan dua fakta, pertama, penawaran seekor ayam hutan yang tampak betina tetapi bisa berkokok yang oleh Amangkurat 1 dianggap sebagai sindiran politik terhadapnya. Kedua, penculikan Rara Oyi dimana cucunya Pangeran Adipati Anom menyukainya. Dimana diketahui bahwa Rara Oyi akan diperistri ayahnya AmangkuratI. Karena Pangeran Pekik sangat menyayangi cucunya, maka dia tidak ingin melihat cucunya menderita, hingga akhirnya Pangeran Pekik menculik Rara Oyi agar bisa bersatu dengan Pangeran Adipati Anom. Akhirnya, jasad Pangeran Pekik dan Istrinya dimakamkan di Banyusumurup. Kematian kakenya membuat Putra Mahkota membenci ayahnya.
II. Hubungan Antara Raja dengan Putra Mahkota
Terbunuhnya Pangeran Pekik menimbulkan rasa ingin balas dendam putra mahkota terhadap Pangeran Giri yang diketahui telah membujuk ayahnya untuk membunuh Pangeran Pekik. Akhirnya, pada tahun 1680 Pangeran Adipati berhasil membuuh Pengeran Giri. Tidak mengherankan bahwa ia oleh ayahnya dikekang dan sama sekali tidak diberi wewenang. Mungkin kiranya sebagai tindakan pembangkangan pertama yang dilakukan oleh Pangeran Adipati Anom adalah pengiriman utusan olehnya pada tahun 1659 ke Batavia dan kemudian ke Banten sambil membagi-bagikan hadiah dimana-mana. Kesan yang lebih memberontak ditimbulkan oleh perutusannya yang kedua yaitu meminta seekor kuda persia kepada Pemerintah Kompeni.
Berita tegas pertama mengenai permusuhan antara sunan dan putranya terdapat pada bulan September 1660, yang dimuat dalam perjalanan Evert Michielsen. Ketika itu ia mendengar dari Tumenggung Surabaya bahwa Raja menghendaki nyawa putranya sendiri. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa sekitar bulan Maret 1661 sejumlah abdi Putra Mahkota merencanakan pembunuhan terhapad Sunan. Sunanpun membalas dengan pertumpahan darah, dan mengambil tindakan untuk melindungu diri. Selanjutnya Pangeran memang mendapat ancaman dari ayahnya, tetapi sampai saat itu masih selamat. Mungkin pendukung Pangeran terlalu kuat sehingga Sunan tidak berani secra terbuka bertindak terhadap putranya. Memang diketahui bahwa saat itu Pangeran sudah berkomplot dengan Pangeran Purbaya dan juga beberapa pembesar kerajaan mendukungnya. Betapa buruknya hubungan di Istana tampak oleh para utusan Belanda yang mengunjungi ibukota pada tahun 1667 dan 1668. Ketika itu, para utusan Belanda setibanya di Jepara pad 1 oktober mendengar dari kepala daerah Jepara Kiai Wiradika, atas nama Sunan mengatakan, " kepada siapapun bahkan kepada putranya yang tertua, Pangeran Adipati Anom, tidak boleh diberikan hadiah sekecil apapun".
III. Kejengkelan Putra Mahkota
Kekacauan di Istana sekitar tahun 1670 diperhebat karena tingkah laku enam orang pangeran lainya, yang semuanya khususnya yang tertua, mempunyai kelompok pengikutnya sendiri dan kebanyakan juga bertentangan antara satu dengan yang lainya. Dari keenam pangeran ini, Pangeran Singasarilah yang terutama menunjukan perhatian. Putranya yang kedua ini lahir dari permaisuri bernama Kanjeng Rara Wetan, kemudian bernama Ratu Kulon. Menurut tulisan tanggal 23 Juli 1970, Sunan menyerahkan tahtanya kepada Raden Aria Tiron ataupun Pangeran Singasari dikemudian hari. Hal itulah yang membuat Pangeran Adipati Anom semakin membenci ayahnya. Namun, pemerintahan Pangeran itu tidak berlangsung lama, yaitu hanya bertahan selama delapan hari. Pada tanggal 8 agustus 1670, bahwa Sunan telah mengambil kembali tampuk pemerintahan yang dititipkan kepada Raden Aria Tiron.
Karena merasa takut dengan ayahnya, baik pada tahun 1666 maupun 1667, Pangeran Adipati Anom mencari hubungan dengan para utusan Belanda yang mengunjungi ibu kota Mataram. Putra Mahkota kemudian mencoba segera mencari hubungan dengan Batavia melalui para utusan tersebut. Bahkan, Pangeran mengirim utusan hingga sembilan kali. Tidak pernah para utusan ini datang ke Batavia dengan tangan kosong. Mereka datang dengan membawa berbagai hadiah. Kebanyakan hadiah itu berupa beras, minyak, gula, telur., udang, ikan, dan terkadang berupa barang berharga seperti tombak bermata tiga yang berlapis perak. Yang lebih aneh ialah apa yang ingin diharapkanya sebagai balasan yaitu, kuda Persia, ayam Belanda, anak panah dan hulu keris buatan Jepang, terompet, pakaian, dan berlian, serta gadis Makasar. Selain keuntungan dan wibawa, Putra Mahkota juga mengharap persahabatan dari Kompeni. Pemerintah Kompeni yang tahu bahwa Pangeran akan menggantikan ayahnya, menyambut baik sikap itu. Masalah inilah yang dalam jangka waktu lama akan berakibat buruk bagi nasib Jawa.
IV. Putra Mahkota Mencari Dukungan
Setelah pembunuhan atas kakeknya beserta keluarganya, Putra Mahkota masih berduka dan belum bisa melupakan kejadian itu. Para abdi dalem dan bupati mendorongnnya agar menyatakan diri sebagai raja. Di dalam hatinya bergulat sikap hormat dan takut kepada ayahnya dengan rasa kasihan dengan penduduk Mataram yang malang. Setelah itu, diputuskanya untuk mencari dukungan. Selain mencari dukungan terhadap pihak Belanda melaui para utusanya, Pangeran juga mencari dukungan dengan Raden Kajoran, dan juga Raden Trunajaya.
Babad B.P, Menceritakan betapa Raden Kajoran terkenang kembali akan menantunya, Raden Trunajaya. Menantu ini amat disayangi oleh Raden Kajoran. Sebagai pertapa, ia tahu bahwa Raden Trunajaya akan menjadi pahlawan besar, dan akan mengguncangkan seluruh Jawa. Pangeran Adipati Anom ingin berkenalan dengan Raden Trunajaya. Setelah itu, Raden Kajoran menjelaskan kepada Raden Trunajaya apa yang menjadi tugasnya, dan menunjuk pada kemungkinan akan timbulnya akibat-akibat buruk. Pemuda itu bersedia menghadapi segala akibat bahkan seandainya menghadapi maut sekalipun. Pangeran Adipati Anom merasa sangat gembira ketika mendengar pernyataan itu, dan diperintahkanya agar Raden Trunajaya berangkat ke Sampang, Madura, tetapi harus bertindak dengan bijaksana. Raden Trunajaya menyetujuinya dengan imbalan akan diangkat sebagai tumenggung. Selain itu, Pangeran Adipati Anom juga meminta dukungan dari Raden Trunajaya tentang pengukuhanya sebagai pewaris tahta. Setelah itu, Raden Trunajaya berangkat ke Madura. Penyeberangan Pangeran Trunajaya ke Madura terjadi sekitar pergantian Tahun 1670-1671. Sesampainya di Madura, Raden Trunajaya memberi penjelasan bahwa ia mendapat perintah dari Pangeran Adipati Anom agar menguasai Madura demi kedaulatan Sri Baginda. Setelah mendengar itu, rakyat Madura menjadi simpati dengan Raden Trunajaya.
V. Pemberontakan Makasar dan Madura
Orang-orang Makasar, sejak tahun 1674 menganggap keamanan di pantai timur Jawa dapat dibagi atas dua kelompok yaitu, kelompok kelompok yang beroperasi dikawasan barat dibawah pimpinan Kraeng Bonto Marannu, dan dikawasan timur dibawah pimpinan Kraeng Galesong.
Pada mulanya orang-orang Makasar dibawah pimpinan Kraeng Bonto Marannu menetap di Banten. Mereka hidup bersama dengan orang-orang Banten. Namun, pada akhirnya perpecahan tidak bisa dihindari. Perpecahan terjadi akibat dua orang Makasar yang mengamuk. Kedua orang Makasar itu konon telah menyelinap kedalam kamar Sultan ,dan mencuri banyak perhiasan, pakaian mahal, dan beberapa senjata terbaik. Sejak saat itu Sultan menyuruh memperketat penjagaan di Istana, dan orang-orang Makasar dilarang memasuki Kota Banten. Setelah itu, hubungan antara kedua belah pihak semakin buruk. Mulai bulan Januari 1674, berlaku jam malam bagi orang Makasar setelah matahari terbenam. Barang siapa melanggar ketentuan itu akan dibunuh. Orang-orang Banten pun tidak boleh memberikan hunian rumah kepada orang-orang Makasar. Setelah Bonto Marannu pergi dari Banten, Sultan memerintahkan agar orang-orang Makasar yang masih ada diusir dari Banten, dan menyusul mereka yang sudah pergi. Kemudian hubungan Makasar dan Banten memuncak setelah dua orang pemimpin Makasar menyatakan perang terhadap Sultan.
Tidak lama setelah meninggalkan Banten, orang-orang Makasar melakukan perompakan. Berita pertama tentang hal ini berasal dari seorang warga Banda bernama Gabriel Naske. Ia memberitakan pada tanggal 12 februari 1674, bahwa pengikut Kraeng Bonto Marannu, dengan armada antara 25 dan 30 kapal, berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Madura( Arosbaya, Samapng, dan Sumenep ). Juga berita dari Couper tentang desas-desus bahwa disekitar ujung timur dekat Madura, mereka diserang oleh lebih kurang 70 kapal perompak Makasar, yang sudah banyak membajak perahu dan mengancam semua kapal pribumi, merupakan tanda bahaya besar. Mula-mula kelompok orang Makasar Kraeng Bonto Marannu hanya merampas perahu, tetapi pada akhir tahun 1674, dari Demung mereka mulai menyerang kota-kota. Kota pertama yang jatuh ke tangan mereka adalah pelabuhan beras yag penting, Gerongan. Serangan orang-orang Makasar atas Gresik dan Surabaya dapat ditangkis juga, tetapi pihak kompeni menganggap kegiatan perampokan dikalangan orang Jawa adalah suatu kejahatan. Kraeng Galesong dan putra Kraeng Tenetive muncul di perairan Gresik, dengan 25 perahu, 500 awak bersenjata lengkap. Tindakan kekerasan gerombolan Makasar disegala pelosok menimbulkan rasa takut dan menimbulkan kekacauan. Pada tengah malam tanggal 16-17 April 1675 tersiar desas-desus di Jepara bahwa para perompak telah menaklukan Gresik dan merampas kota itu habis-habisan.
Untuk membasmi pemberontakan tersebut, Mataram dan Kompeni bekerjasama. Pengumuman armada Belanda yang hendak membasmi Makasar semula terdengar menggembirakan sebagian orang Jawa. Namun, kenyataanya tidak. Bantuan itu ternyata mengecewakan. Bukan hanya karena terlambat, melainkan juga karena adanya kecurigaan pada penguasa daerah dan pejabat lain. Sementara itu, pada tanggal 2 April muncul pengawal Sunan membawa surat yang memerintahkan agar Belanda segera pergi dengan membawa segala barangnya. Setelah suasana tenang, barulah kelak mereka bisa berkunjung lagi dan melanjutkan perdagangan. Yang menyebabkan pengusiran tersebut adalah adanya desas-desus di Mataram bahwa Makasar berhasil merebut Tuban dan Sidayu, padahal armada Belanda berada disana. Setelah pertempuran yang sengit, akhirnya Makasar berhasil memukul mundur Mataram. Mendengar akan hal itu, Pangeran Adipati Anom memerintahkan sebagian armada untuk berlayar ikut dalam peperangan.
VI. Kekalahan Putra Mahkota
Mendengar kekalahan tersebut, Sunan murka dan memerintahkan Pangeran Adipati Anom bersama Pangeran Purbaya, Pangeran Blitar, Aria Amot, Rajamenggala, Wirapati, dan Wiraja untuk memimpin dua per tiga kekuatan Mataram menuju Demung. Rajamenggala berada di baris terdepan, kemudian diikuti Pangeran Adipati Anom dibelakangnya. Yang menarik perhatian, ialah bahwa menurut sumber-sumber Jawa, penyebab kekalahan dipihak Jawa adalah ketidakhadiran penguasa setempat, yang waktu itu sedang berada di Mataram. Disisi lain, Raden Trunajaya yang semula pro dengan Mataram bahkan sempat bekerja sama dengan Pangeran Adipati Anom sekarang membelot dan menyatakan perang terhadap Mataram.
Trunajaya berangkat ke Surabaya, dan membuat pertahanan disana. Ia menamakan dirinya Panembahan Maduretno. Laskar Makasar dibawah pimpinan Kraeng Galesong bersatu denganya. Trunajaya menerima Kraeng Galesong sebagai menantunya dan berencana merebut Mataram. Dengan bersatunya laskar Makasar dengan laskar Madura, maka semakin kuatlah mereka. Mereka berhasil membuat pasukan Mataram kalangkabut. Banyak pemimpin pasukan Mataram yang tewas, diantaranya, Kiai Ngabei Wirajaya, Panji Wirabumi, dan Kiai Rangga Sidayu, serta Pangeran Purbaya. Kejadian itu terjadi pada tanggal 5 Ruwah Dal 1599 (13 Oktober 1676).
Banyak prajurit Mataram yang ketakutan, kemudian melarikan diri atau meninggalkan tugas. Para Pangeran dan Bupati terseret dan turut melarikan diri ke Jepara. Kaum pemberontak mencoba menangkap mereka, tetapi tidak berhasil. Pada tanggal 12 September 1676, sebelum kaum pemberontak menyeberang ke daratan Jawa, Pangeran Adipati Anom dengan tentaranya sudah sampai di Jepara, dan segera mengundang Residen Couper dalam pertemuan bersama yang dihadiri paling sedikit 1000 orang Jawa untuk musyawarah bersama-sama dalam membasmi perompakan yang terjadi di Mataram. Pada tanggal 16 September 1676 Pangeran Adipati Anom menyusul bala tentara yang sudah bergerak maju menuju Gresik. Justru pada saat itu, tiba berita dari armada Poleman bahwa kekuatan Makasar di Demung telah dihancurkan. Pada tanggal 12 Oktober 1676 Couper memberitahukan dari Jepara bahwa Putra Mahkota berada di Tuban, dan berhasil menahan 40 orang Madura. Tetapi mereka segera dibebaskan kembali dan dikirimkan kepada Raja Trunajaya disertai dengan surat permintaan kepada permberontak agar segera menyerah pada Mataram, kalau tidak Putra Mahkota tidak akan kembali ke Istana sebelum menangkap Trunajaya. Pada tanggal 16 Oktober di Jepara, pedagang-pedagang kayu(Cina) telah melarikan diri dari Rembang dengan membawa kabar buruk yaitu, tentara Pangeran Dipati yang berjumlah 80.000 telah dikacaubalaukan hanya oleh 1500 orang Madura dan Makasar. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa Pangeran Adipati Anom telah memerintahkan agar mereka bertindak demikian, dan harus terus maju melalui Juwana, Pati, Kudus, serta Jepara. Maka, jelaslah sudah bahwa Pangeran Adipati tidak memiliki itikad baik pada kerajaan ayahnya sendiri. Sebab, tempat-tempat yang baru saja dilalui oleh tentaranya keesokan harinya telah dikuasai laskar Madura.
Setelah berangsur-angsur kekuatan pasukan Mataram mulai melemah, menurut cerita tutur (Babad B.P), Pangeran Adipati Anom bersama saudaranya, Pangeran Singasari melarikan diri dan menginap satu malam di Jepara. Tidak lama setelah kekalahanya itu, Putra Mahkota mengirimkan surat kepada kepala daerah Jepara yang meminta segera disampaikan permohonan bala bantuan kepada Couper(Kompeni). Pangeran Adipati Anom tiba di Semarang tanpa pasukan lagi, tetapi saudaranya yang berpengaruh itu, Pangeran Singasari, mungkin bersamanya. Setidaknya ia menerima perintah untuk kembali ke Istana. Untuk memperlihatkan kemarahanya, Raja segera menyerahkan kekuasaanya kepada putranya yang ketiga, Pangeran Martasana. Selain itu, Raja tidak dapat memutuskan suatu apa, sehingga beberapa orang pembesar yang setia memperingatkan serta menyampaikan nasihat agar Sri Baginda meninggalkan Istananya dan menata kembali masalah-masalah yang dihadapinya. Raja yang lemah itu memberi jawaban bahwa andaikata para pangeran, putra-putranya, dan juga pembesar lainya mempunyai itikad baik, maka tidak perlu baginya menampakan diri sebelum musuh sampai di pintu gerbang. Pada awal Januari 1677 Sunan menyerahkan seluruh Mataram kepada keempat putranya, masing-masing atas bagianya sendiri seperti telah ditentukan berikut kekuasaanya. Setelah itu, Raja berusaha melarikan diri kearah barat, akan tetapi kesehatanya mengalami kemunduran. Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia akhirnya meninggal di Tegal dan dimakamkan disuatu tempat bernama Tegal Arum. Sesudahnya, Susuhunan Amangkurat I juga dikenal dengan julukan Sunan Tegal Arum.
VII. Pemerintahan Putra Mahkota (Amangkurat II) dan VOC
Segera setelah ayahnya meninggal, Pangeran Adipati Anom dinobatkan menjadi Susuhunan Ing Alaga dengan memakai gelar yang sama yaitu Amangkurat II. Dalam usahanya memadamkan pemberontakan, segera mengadakan perjanjian dengan VOC yang diwakili oleh Admiral Speelman. Dan Mataram secara resmi menandatangani persekutuan dengan VOC untuk melawan Trunajaya. Persekutuan ini dikenal dengan Perjanjian Jepara, September 1677, yang isinya Sultan Amangkurat II, Raja Mataram harus menyerahkan pesisir utara Jawa jika VOC membantu memenangkan pemberontakan Trunajaya.
Daerah-daerah pesisir utara Jawa mulai Kerawang sampai ujung timur digadaikan pada VOC sebagai jaminan pembayaran biaya perang Trunajaya. Perjanjian itu segera diikuti dengan dikirimnya ekspedisi pasukan di bawah pimpinan Antonio Hurdt untuk mengejar laskar-laskar pemberontak. Peperangan berjalan cukup sengit dan diakhiri dengna tewasnya Panembahan Rama serta ditangkapnya Trunajaya oleh Kapitan de Jonker (Hendriatmo, 2006: 8). Dengan bantuan VOC, ia berhasil mengakhiri pemberontakan Trunajaya tanggal 26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680. Pangeran Puger akhirnya menyerahkan diri dan diberi ampun oleh Amangkurat II dan diterima kembali di lingkungan istana.
VOC semakin ikut campur dalam pemerintahan Mataram. Dalam cerita tutur dikatakan bahwa bantuan kompeni dalam perang Trunajaya hanya diberikan karena adanya ancaman pengusiran. Tetapi menurut berita Belanda, kompeni memberikan bantuan secara spontan dan tanpa paksaan karena itu merupakan bukti itikad baiknya belaka. Tentunya, yang terakhir itulah yang dapat diterima, karena dalam hal ini kepentingan Batavia dan Mataram sejalan.
Pada bulan September 1680 Amangkurat II membangun istana baru di hutan Wanakerta karena istana Plered diduduki adiknya, yaitu Pangeran Puger. Istana baru tersebut bernama Kartasura. Pangeran Puger yang semula menetap di Kajenar pindah ke Plered setelah kota itu ditinggalkan. Perang antara Plered dan Kartasura meletus pada bulan November 1680. Babad Tanah Jawi menyebutnya sebagai perang antara Mataram melawan Kartasura. Akhirnya setahun kemudian, yaitu 28 November 1681 Pangeran Puger menyerah kalah. Babad Tanah Jawi menyebut Mataram runtuh tahun 1677, sedangkan Kartasura adalah kerajaan baru sebagai penerusnya.
Disusun Oleh :
Nama : Mijil Sunoto
Fakultas : Fakultas Ilmu Sosial
Prodi : Ilmu Sejarah
NIM : 15407144002
Dosen Pengampu : Bapak Djumarwan
Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber :
1. DR. H.J. De Graaf, Runtuhnya Istana Mataram
Comments
Post a Comment