Tahukah kalian jika sesudah 40 tahun lamanya, baru pertama kali diadakan sebuah peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei, yang diselenggarakan pada tahun 1948.
Awalnya, peringatan itu adalah anjuran dari Bung Karno agar pemerintah menyelenggarakan perayaan hari kebangkitan secara besar-besaran. Untuk itu, diangkatlah Ki Hajar Dewantara menjadi ketua panitia peringatan hari besar tersebut.
Mengapa peringatan ini dilaksanakan? Ki Hajar Dewantara menjawab hal tersebut, dengan mengatakan:
“Itulah sebenarnja maksud dan tudjuan Bung Karno, ketika ia mengandjurkan supaja hari 20 Mei tahun 1948 dirajakan setjara besar-besaran. Hari itu olehnja dianggap sebagai hari bangunnja rakjat, hari sadarnja serta bangkitnja rasa kebangsaan Indonesia, pada tahun 1908, empat puluh tahun sebelum itu adjakan Bung Karno tadi terbukti sangat ditaati oleh semua golongan rakjat. Mulai golongan-golongan jang berada di luar gerakan politik, sampai dengan partai, mulai jang paling kanan sampai jang paling kiri, ikut serta secara aktif, dan bersama-sama merajakan hari 20 Mei tahun itu sebagai “Hari Kebangkitan Nasional”, sebagai Hari Kesatuan Rakjat Indonesia”. (C.S.T. Kansil, 2005).
Jadi, makna dari peringatan Hari Kebangkitan Nasional sebagaimana dimaksud oleh Bung Karno / Soekarno di atas, adalah bertujuan untuk memperkuat kesatuan bangsa, khususnya dalam menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Apalagi pada awal tahun itu telah muncul pula kelompok dengan garis perjuangan ideologi yang bisa menghancurkan integrasi bangsa dan ideologi negara Indonesia tercinta ini. Berdasarkan sejarahnya yang berkaitab dengan hari kebangkitan nasional ini, di awal tahun 1948, Muso kembali dari Moskwa dengan menawarkan sebuah doktrin atau “Jalan Baru” sebagai strategi perjuangan bangsa yang berbeda dari strategi yang dijalankan oleh pemerintah Soekarno-Hatta. Doktrin Muso ini yang kemudian mempengaruhi kubu Amir Syarifuddin dengan membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang mempunyai paham “kiri”. Hubungan antara FDR dengan kubu nasionalis dan Islam menjadi kian meruncing. Pertikaian ideologi yang tajam tersebut berakhir dengan pecahnya pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948.Selain itu, akibat dari perundingan Renville, sebanyak 35.000 anggota TNI juga dipaksa untuk meninggalkan wilayah yang telah diklaim oleh Belanda menuju daerah Republik Indonesia yang saat itu beribu kota di Yogyakarta. Tiga bulan setelah itu, Belanda melancarkan agresi militer dengan menduduki ibu kota Yogyakarta di tanggal 19 Desember 1948. Presiden dan Wakil Presiden serta beberapa pejabat tinggi negara ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Meskipun demikian Presiden masih sempat memberikan suatu mandat kepada Syafrudin Prawiranegara untuk menjadi ketua / pemimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia di daerah Sumatera Barat. Bahkan Soekarno juga memerintahkan kepada Soedarsono dan LN. Palar untuk siap mengantisipasi apabila suatu ketika terpaksa mendirikan pemerintahan pengasingan di negara India, meskipun hal ini pada akhirnya tidak terjadi. Dengan kondisi pada saat itu yang kritis, maka Republik Indonesia dapat digambarkan hanya bagaikan “sebutir telur di ujung tanduk”. Tetapi demikian Panglima Besar Soedirman sekeluarnya dari Yogyakarta, langsung memimpin para pasukannya untuk meneruskan perjuangan melawan penjajahan Belanda dengan melakukan perang gerilya. Sementara itu Kolonel A.H. Nasution, sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun sebuah rencana pertahanan rakyat yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat Nomor 1 yang salah satu pokoknya ialah menyusupkan pasukan-pasukan yang berasal dari daerah - daerah federal ke garis belakang musuh dan membentuk tempat - tempat gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang cukup luas. Bisa juga dikemukakan peran Sultan Hamengkubuwono IX yang telah memberikan cukup dukungan fasilitas dan finansial untuk keberlangsungan berjalannya pemerintahan Republik yang ditinggalkan para pemimpinnya. Menurut Kahin, dua kekuatan inilah yang menjadi sumber perlawanan kepada Belanda yang pada akhirnya memaksa Belanda agar mengakhir perang menuju Konferensi Meja Bundar (KMB). Kedua kekuatan yang digerakan unsur sipil dan tentara yang melakukan gerilya diajdikan amunisi yang ampuh bagi para diplomat kita yang terus berunding di forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dengan strategi perjuangan di atas dengan mendapat tekanan Internasional dan dari Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan, maka Belanda terpaksa untuk menandatangani perjanjian KMB yang berisi “penyerahan kedaulatan” (souvereniteit overdracht). Situasi dan kondisi perjuangan sebagaimana telah digambarkan di atas itulah yang menjadi makna nilai persatuan dari peringatan kebangkitan nasional ke 40 pada tahun 1948, yang menggerakkan perjuangan bangsa Indonesia yang pantang menyerah dan pada akhirnya dapat mengakhiri upaya Belanda yang ingin kembali menjajah.
Ancaman disintegrasi (perpecahan) bangsa memang bukan sebuah persoalan yang main - main. Tidak hanya merupakan masalah pada masa lalu. Potensi disintegrasi yang ada pada perkembangan di masa sekarang ini bukan tidak mungkin terjadi. Karena itulah kita perlu untuk terus dan selalu memahami betapa berbahayanya proses disintegrasi bangsa apabila terjadi bagi kebangsaan kita. Sejarah Indonesia telah menunjukkan hal itu.
Itulah sejarah singkat dan makna dari Hari Kebangkitan Nasional. Semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment