Seperti apa Pemberontakan DI/TII itu?bagaimana cara memberantas pemberontakan di/tii di indonesia dan apa dampak pemberontakan di/tii?
Berikut ini adalah detail rangkuman penjelasan lengkap mengenai Pemberontakan DI / TII yang ada di berbagai daerah.
Latar Belakang Terbentuknya DI/TII
Cikal bakal pemberontakan DI/TII yang meluas di beberapa daerah wilayah Indonesia berawal dari sebuah gerakan yang ada di Provinsi Jawa Barat yang dipimpin oleh seorang yang dulunya merupakan salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), namanya adalah S.M. Kartosuwiryo. perjanjian Renville adalah yang membuka peluang bagi Kartosuwiryo untuk lebih mendekatkan cita-cita lamanya, yakni untuk mendirikan sebuah negara Islam.
Salah satu keputusan yang ada pada perjanjian Renville adalah harus pindahnya pasukan RI dari daerah daerah yang diklaim dan diduduki Belanda ke daerah yang dikuasai RI. Di Provinsi Jawa Barat, Divisi Siliwangi sebagai pasukan resmi RI pun dipindahkan ke daerah Jawa Tengah karena Jawa Barat negara bagian Pasundan oleh Belanda. Akan tetapi laskar bersenjata Hizbullah dan Sabilillah yang telah ada di bawah pengaruh Kartosuwiryo tidak bersedia pindah dan malah membentuk sebuah gerakakan Tentara Islam Indonesia (TII). Vakum (kosong)-nya kekuasaan
RI yang ada di Jawa Barat segera dimanfaatkan Kartosuwiryo. Meski awalnya dirinya memimpin perjuangan melawan Belanda dalam rangka menunjang perjuangan RI, tapi akhirnya perjuangan itu malah beralih menjadi perjuangan untuk merealisasikan cita-citanya sendiri. Ia kemudian menyatakan pembentukan Darul Islam (negara Islam/DI) dengan dukungan dari TII, di Jawa Barat pada bulan Agustus 1948.
Persoalan kemudian timbul saat pasukan Siliwangi kembali balik ke Jawa Barat. Kartosuwiryo tidak mau mengakui tentara RI itu kecuali mereka mau
bergabung dengan DI/TII. Ini berarti sama saja Kartosuwiryo dengan DI/TII nya tidak mau mengakui adanya pemerintah RI di Jawa Barat. Maka pemerintah tentunya menjadi bersikap tegas. Meskipun beberapa upaya menanggulangi DI/TII Jawa Barat pada awalnya terlihat belum dilakukan secara terarah, tapi sejak tahun 1959, pemerintah mulai melakukan gerakan operasi militer.
Operasi terpadu disebut dengan “Pagar Betis” digelar, dimana pada operasi ini tentara pemerintah menyertakan juga masyarakat untuk mengepung tempat-tempat kekuasaan pasukan DI/TII berada. Tujuan dari taktik ini adalah untuk mempersempit ruang gerak dan memotong arus perbekalan pasukan lawan. Selain itu juga diadakan pula operasi tempur dengan menuju sasaran langsung yang berupa basis-basis pasukan DI/TII. Dari operasi ini pula Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tahun 1962 dan dijatuhi hukuman mati, begitu juga menandai pula berakhirnya pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kartosuwiryo.
Di Jawa Tengah, awal kasus pemberontakan ini juga mirip, dimana akibat persetujuan Renville daerah Pekalongan-Brebes-Tegal ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan aparat pemerintahan. Terjadi kevakuman di wilayah ini dan Amir Fatah bersama pasukan Hizbullah yang tidak mau di-TNI-kan segera mengambil alih.
Ketika pasukan TNI balik kembali ke wilayah tersebut setelah Belanda melakukan agresi militernya yang kedua, sebenarnya sudah terjadi kesepakatan antara Amir Fatah dan pasukannya dengan pasukan TNI. Amir Fatah bahkan diangkat menjadi koordinator pasukan di daerah operasi Tegal dan Brebes.
Namun ketegangan yang terjadi karena berbagai persoalan antara pasukan Amir Fatah dengan TNI sering timbul lagi. Amir Fatah pun semakin berubah pikiran setelah utusan Kartosuwiryo datang untuk menemuinya lalu mengangkatnya menjadi Panglima TII Jawa Tengah. Ia bahkan juga kemudian ikut untuk memproklamirkan berdirinya Negara Islam di daerah Jawa Tengah. Sejak saat itu terjadi kekacauan dan konflik terbuka antara pasukan Amir Fatah dengan pasukan TNI. Namun berbeda dengan DI/TII di Jawa Barat, perlawanan Amir Fatah tidak terjadi terlalu lama dikarenakan kurangnya dukungan dari penduduk setempat yang membuat perlawanannya cepat berakhir. Pada Desember 1951, ia menyerah.
Selain pemberontakan Amir Fatah, di Jawa Tengah juga timbul sebuah pemberontakan lain yang dipimpin Kiai Haji Machfudz atau yang dikenal Kyai Sumolangu. Dirinya didukung oleh laskar bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI) yang sejak didirikan memang berkeinginan untuk menciptakan sebuah negara Indonesia yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Meskipun demikian, dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, awalnya AUI bahu membahu dengan Tentara Republik dalam menghadapi Belanda. Wilayah operasional AUI ada di daerah Kebumen dan daerah sekitar pantai selatan di Jawa Tengah. Tapi kerjasama antara AUI bersama Tentara RI mulai pecah saat pemerintah ingin melakukan demobilisasi AUI. Ajakan pemerintah untuk berunding dan bernegosiasi malah ditolak Kyai Sumolangu. Di akhir Juli 1950 Kyai Sumolangu melakukan sebuah pemberontakan. Selama sebulan bertempur, tentara RI akhirnya berhasil menumpas pemberontakan. Ratusan pemberontak dinyatakan tewas dan sebagian besar berhasil ditawan. Sebagian pemberontak lainnya melarikan diri dan bergabung dengan pasukan TII yang ada di Brebes dan Tegal. Akibat adanya pemberontakan ini kehancuran yang diderita di Kebumen sangat besar. Ribuan rakyat mengungsi dan ratusan orang terbunuh. Desa-desa yang ada disana juga mengalami kerusakan berat.
Untuk pemberontakan Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan Batalyon 426 dari Divisi Diponegoro Jawa Tengah, adalah tentara Indonesia yang para anggotanya berasal dari laskar Hizbullah. Adanya simpati dan kerjasama mereka dengan Darul Islam terjadi karena DI/TII juga berbasis pasukan laskar Hizbullah. Cakupan wilayah dari gerakan Batalyon 426 dalam pertempuran yang terjadi dengan pasukan RI adalah di daerah Kudus, Klaten sampai ke Surakarta.Walaupun dianggap kuat dan membahayakan, tetapi hanya dalam hitungan beberapa bulan saja, pemberontakan kekuasaan dan ideologi yang dilakukan oleh Batalyon 426 ini juga berhasil ditumpas. Selain ada di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII terjadi pula di daerah Sulawesi Selatan yang di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kahar Muzakkar. Di tahap awal, pemberontakan ini lebih disebabkan akibat dari ketidakpuasan para bekas pejuang gerilya kemerdekaan terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk Tentara Republik dan demobilisasi yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Tetapi beberapa tahun kemudian pemberontakan ini kemudian beralih dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo.
Tokoh Kahar Muzakkar sendiri pada masa perang kemerdekaan pernah
berjuang di daerah Jawa bahkan menjadi salah satu komandan Komando Grup Sulawesi Selatan yang bermarkas di Yogyakarta. Setelah adanya pengakuan kedaulatan tahun 1949 ia lalu ditugaskan ke daerah asalnya untuk membantu menyelesaikan persoalan tentang Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) di sana. KGSS ink dibentuk saat perang kemerdekaan dan berkekuatan 16 batalyon atau satu divisi.
Pemerintah menginginkan agar kesatuan ini dibubarkan lebih dahulu untuk kemudian dilakukan re-organisasi tentara kembali. Semua itu dalam rangka penataan ketentaraan. Tetapi anggota KGSS malah menolaknya.
Begitu tiba, Kahar Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara Indonesia Timur menjadi koordinator KGSS, agar mudah dalam menyelesaikan persoalan. Tapi Kahar Muzakkar malah menuntut kepada Panglimanya agar KGSS bukan dibubarkan, melainkan ia meminta agar seluruh anggota KGSS dijadikan sebagai tentara dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan ini langsung ditolak karena pemerintah berkebijakan hanya akan menerima anggota KGSS yang memenuhi syarat sebagai tentara dan lulus dalam seleksi. Kahar Muzakkar juga tidak menerima kebijakan ini dan memilih untuk berontak diikuti oleh pasukan pengikutnya. Selama masa pemberontakan, Kahar Muzakkar pada tanggal 7 Agustus 1953 yang menyatakan dirinya dan pasukannya sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia Kartosuwiryo.
Pemberontakan dilakukan Kahar memang memerlukan waktu lama dalam penumpasannya. Pemberontakan ini baru berakhir pada tahun 1965. Di tahun itu pula, Kahar Muzakkar tewas tertembak dalam sebuah penyergapan.
Pemberontakan lainnya yang berkait dengan DI/TII juga terjadi di daerah Kalimantan Selatan. Tetapi jika dibandingkan dengan gerakan DI/TII yang lain, maka pemberontakan ini relatif kecil, karena para pemberontak tidak menguasai daerah yang luas dan pergerakan pasukan yang besar. Walau begitu, pemberontakan ini malah berlangsung lama dan berlarut-larut hingga tahun 1963 dan Ibnu Hajar, pemimpinnya, telah tertangkap.
Timbulnya pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini sebenarnya bisa ditelusuri sampai tahun 1948 saat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV, sebagai pasukan utama Indonesia dalam menghadapi Belanda di Kalimantan Selatan, sudah tumbuh menjadi tentara yang cukup kuat dan berpengaruh di daerah tersebut. Tapi ketika penataan ketentaraan mulai dilakukan di daerah Kalimantan Selatan oleh pemerintah pusat di Jawa, tidak sedikit para anggota ALRI Divisi IV merasa kecewa karena diantara mereka ada yang perlu didemobilisasi atau mendapatkan posisi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Suasana kemudian mulai resah dan keamanan yang ada di Kalimantan Selatan mulai terganggu. Penangkapan-penangkapan terhadap mantan anggota ALRI Divisi IV mulai terjadi. Salah satu alasannya adalah karena diantara mereka ada yang menghasut mantan anggota ALRI lainnya untuk melakukan pemberontakan. Diantara para pembelot mantan anggota ALRI Divisi IV itu ialah Letnan Dua Ibnu Hajar. Dikenal sebagai figur berwatak keras, dengan cepat ia dapat mengumpulkan pengikut, terutama dalam kalangan anggota ALRI Divisi IV yang kecewa dengan pemerintah. Ibnu Hajar bahkan juga menamai pasukan barunya itu sebagai Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT). Kerusuhan pun segera saja terjadi. Berbagai penyelesaian damai telah coba dilakukan pemerintah, tapi upaya ini terus mengalami kegagalan. Pemberontakan pun terjadi. Akhir tahun 1954, Ibnu Hajar malah memilih bergabung dengan pemerintahan DI/TII Kartosuwiryo, yang menawarkan kepadanya dalam jabatan pemerintahan DI/TII sekaligus sebagai Panglima TII Kalimantan. Konflik yang terjadi dengan tentara Republik pun tetap terus berlangsung selama bertahun-tahun. Baru pada tahun 1963, Ibnu Hajar kemudian menyerah. Ia berharap mendapat pengampunan. Tetapi pengadilan militer malah menjatuhinya hukuman mati.
Daerah kekuasaan dan pemberontakan DI/TII berikutnya adalah di Aceh. Ada sebab dan akhir yang berbeda antara pemberontakan di daerah ini dengan daerah-daerah DITII lainnya.
Comments
Post a Comment