Tulisan ini dibuat pada pukul 11 pagi di sebuah warung kopi yang berada di kota saya. Pada waktu itu terlihat ada dua orang siswa SMA yang masih memakai seragam duduk di meja sebelah saya, membawa laptop yang dihubungkan dengan headset. Sudah masuk masa liburkah? Atau mungkin lagi ujian karna jam segini mereka sudah berkeliaran di luar. Oh, mungkin, tambahan, dua orang yang memakai baju PNS ada juga di sini, duduk dua meja di depan saya. Saya sedang tak berkeinginan menyerang integritas PNS, karena sudah cukup banyak, kan atasan mereka juga sering disidak. Kebetulan, saya juga baru saja pulang melihat pengumuman hasil tes adik bungsu saya yang ingin masuk SMP favorit di sini, bersama dengan Mamak saya. Agak merasa heran, kok bisa secepat ini testing masuk SMP dilaksanakan, UN anak SD aja belum mulai. Kata Ibu saya, kalau anak SD itu sudah pasti lulus semua, begitu pula SMP. Karena adanya pencanangan wajib 9 tahun dari pemerintah, nanti SMA baru udah ada lulus dan ngga lulus.
Tapi tampaknya sekarang ada peraturan baru, yakni pencanangan wajib belajar 9 tahun ditambah dengan 3,5 tahun (kalau cumlaude), 4-5 tahun lah lumrahnya, 7 tahun untuk yang males. Karena seingat saya, semua siswa di kelas saya waktu SMA ngikut tes buat masuk ke universitas, tentu saja termasuk saya. Bahkan saya sempat tercatat sebagai mahasiswa yang berkuliah di 3 jurusan Strata 1, yaitu fakultas Teknik, Ekonomi, dan Pendidikan. Mengapa waktu itu saya kuliah? Ya karena semuanya kuliah, karena kakak saya pada kuliah, kakak kelas saya kuliah, para tetangga saya kuliah, dan gebetan saya pula waktu SMA juga kuliah. Lantas sayanya berhasil lulus dari di jurusan Arsitek, entah gimana ceritanya. IPK semester satu cuman 2,1, itu juga sudah dibantu sama nilai Bahasa indonesia, nilai matakuliah arsitek dan tekniknya, aduhaiii, cualma C, D dan E. Akhirnya pada tahun 2008 saya kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan Manajemen. Kemudian berhasil lulus keduanya, di belakang nama asli saya sekarang ada gelar SE, S.Pd.i. - nya. Untuk beberapa orang ini adalah sebuah martabat yang meningkat. Apakah iya??
Padahal tidak harus seperti itu, karena gelar bukanlah segalanya. Mengapa bukan segalanya?
Susah sih ya sekarang ini buat percaya, karena dimana-mana lamaran kerja yang gajinya bagus itu syaratnya diminta adalah tamatan dari universitas. Karena sayanya pasti bakalan dibilang malah munafik karena alasan resign dari pekerjaan yang sebelumnya adalah untuk menyelesaikan kuliah S-2. Tapi pada waktu itu, setelah saya baru sadar kalau ternyata saya telah mencintai dunia akademisi. Butuh bertahun-tahun untuk tahu kalau ternyata saya suka belajar. Saya lebih senang dikasih jurnal daripada target-target tertentu yang ada di kantor. Sadar setelah satu kali salah jurusan dan 1,5 tahun bekerja di dunia perbankan.
Tentu hal itu tidak salah dengan berkuliah, tapi tidak ada yang salah juga dengan tidak melanjutkan kuliah. Manfaatnya kuliah jika di luar ilmu yang didapatkan adalah keluar dari zona nyaman, dialog dan sharing dengan pakar-pakar seperti professor, suasana baru, adanya teman yang beragam dari segala background, dan terutama adalah pada pengalaman organisasi, ini yang cukup penting sebenarnya. Namun, saya adalah orang yang sedih ketika ada yang bercerita kalau mereka telah salah masuk jurusan kuliah. Berapa banyak dari kita yang dapat dilihat lulusan teknik, fisika, bahkan kesehatan yang akhirnya malah bekerja di bank? Jadi aplikasi ilmunya waktu kuliah S-1 itu dibawa kemana ya? Itu kuliahnya mahal banget lho, belum lagi kalau butuh alat-alat dan masa praktikum yang panjang.
Bukan hanya sekali sharing dan cerita sama temen yang lulus S-1 yang punya nilai cumlaude, tapi kebingungan nentuin kerjaan. Atau yang mungkin mau lanjut S-2 tapi beda jurusan dengan S-1. Berapa banyak para mahasiswa S-1 yang merasa salah jurusan? Teman saya, usianya adalah sekitar 30-an, lulusan Teknik Kimia, sekarang telah bekerja di bank, gaji dan jabatan memang sangat menjanjikan, tapi baru-baru ini dia curhat kalau dia pengen lanjutin kuliah di S-2 Psikologi. Teman-teman sekantor saya dulu, yang mempunyai bakat bagus di jabatannya, malah dari jurusan yang beragam; adalah pada jurusan hukum, biologi dan lain-lain. Saya sering iseng bilangin ke mereka “Harusnya kalian kaya aku aja dari awal, kuliah di jurusan yang ada di fakultas ekonomi”. Yah ujung-ujungnya jawabannya pasti ngga jauh-jauh dari ini “hmm yak namanya aja hidup”.
Kalau ada orang yang ingin saya kasih nasehat dan bantu nentuin pilihan adalah anak-anak baru yang sudah tamat SMA atau sudah hampir lulus SMA, kalau perlu yang kepo tentang kuliah. Karena saya ngga mau ada generasi penerus yang malah bingung seperti saya, dan akhirnya pindah jurusan. Atau yang mau ngga mau udah harus selesain kuliahnya, karena sudah terlanjur. Atau yang justru di masa-masa skripsinya ia telah sadar, kalau ternyata passion-nya bukanlah itu. Padahal sebenarnya dari SMA juga banyak yang sudah menyadari minatnya apa, minimal adalah dari nilai mata pelajaran.
Jadi jelas mau ngambil jurusan apa nantinya kalau kamu memang sudah ada niatan kuliah. Kalau kamu ngga niat, nggak kuliah juga ngga apa-apa sih kalau kata saya, asalkan kamu itu ngga mengganggu negara, norma dan agama. Kalo males kuliah, mungkin kamu malah sedang berbisnis dan jadi entrepreneur muda misalnya, bisa juga kan? Tapi ngga sedikit juga sih yang akhirnya masuk kuliah dengan alasan “Daripada ngga tau mau ngapain lah ya”.
Semoga ke depannya tidak akan ada banyak lagi pandangan yang menganggap kalau gelar dan angka itu adalah segalanya. Karena nilai dari seseorang itu bukan hanya semata-mata dilihat dari gelar, pangkat atau apa yang dia pakai, tapi tentang dirinya sendiri, tentang kepribadiannya yang baik atau buruk. Tentang bermanfaat dan ngga memberi kerusakan ataupun gangguan di lingkungan dan pertemanan. Jadi ke depannya tidak ada lagi yang konspirasi dengan ‘orang dalam’ kampus supaya yang punya IPK yang ngga nyampe 3 bisa diolah, atau adanya surat miskin yang bisa didapatkan oleh orang yang lebih berhak, tetapi malah jatuh ke tangan mahasiswa yang pakai uang beasiswa untuk hura - hura beli handphone merek terbaru misalnya, atau scanning hasil studi punya temen terus diedit - edit lagi. Supaya universitas menjadi tempat yang mencetak pribadi-pribadi jujur dan punya integritas tinggi, bukannya yang malah adem ayem aja melipir dari kantor/sekolah/kampus seperti yang telah saya ceritakan di paragraf satu. Dan akhirnya semoga tidak banyak lagi yang salah jurusan ya!. Hehehee..
Salam Tut Wuri Handayani !
Penulis :
Annisa Mulia Razali
Tapi tampaknya sekarang ada peraturan baru, yakni pencanangan wajib belajar 9 tahun ditambah dengan 3,5 tahun (kalau cumlaude), 4-5 tahun lah lumrahnya, 7 tahun untuk yang males. Karena seingat saya, semua siswa di kelas saya waktu SMA ngikut tes buat masuk ke universitas, tentu saja termasuk saya. Bahkan saya sempat tercatat sebagai mahasiswa yang berkuliah di 3 jurusan Strata 1, yaitu fakultas Teknik, Ekonomi, dan Pendidikan. Mengapa waktu itu saya kuliah? Ya karena semuanya kuliah, karena kakak saya pada kuliah, kakak kelas saya kuliah, para tetangga saya kuliah, dan gebetan saya pula waktu SMA juga kuliah. Lantas sayanya berhasil lulus dari di jurusan Arsitek, entah gimana ceritanya. IPK semester satu cuman 2,1, itu juga sudah dibantu sama nilai Bahasa indonesia, nilai matakuliah arsitek dan tekniknya, aduhaiii, cualma C, D dan E. Akhirnya pada tahun 2008 saya kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan Manajemen. Kemudian berhasil lulus keduanya, di belakang nama asli saya sekarang ada gelar SE, S.Pd.i. - nya. Untuk beberapa orang ini adalah sebuah martabat yang meningkat. Apakah iya??
![]() |
Fastweb.com |
Padahal tidak harus seperti itu, karena gelar bukanlah segalanya. Mengapa bukan segalanya?
Susah sih ya sekarang ini buat percaya, karena dimana-mana lamaran kerja yang gajinya bagus itu syaratnya diminta adalah tamatan dari universitas. Karena sayanya pasti bakalan dibilang malah munafik karena alasan resign dari pekerjaan yang sebelumnya adalah untuk menyelesaikan kuliah S-2. Tapi pada waktu itu, setelah saya baru sadar kalau ternyata saya telah mencintai dunia akademisi. Butuh bertahun-tahun untuk tahu kalau ternyata saya suka belajar. Saya lebih senang dikasih jurnal daripada target-target tertentu yang ada di kantor. Sadar setelah satu kali salah jurusan dan 1,5 tahun bekerja di dunia perbankan.
Tentu hal itu tidak salah dengan berkuliah, tapi tidak ada yang salah juga dengan tidak melanjutkan kuliah. Manfaatnya kuliah jika di luar ilmu yang didapatkan adalah keluar dari zona nyaman, dialog dan sharing dengan pakar-pakar seperti professor, suasana baru, adanya teman yang beragam dari segala background, dan terutama adalah pada pengalaman organisasi, ini yang cukup penting sebenarnya. Namun, saya adalah orang yang sedih ketika ada yang bercerita kalau mereka telah salah masuk jurusan kuliah. Berapa banyak dari kita yang dapat dilihat lulusan teknik, fisika, bahkan kesehatan yang akhirnya malah bekerja di bank? Jadi aplikasi ilmunya waktu kuliah S-1 itu dibawa kemana ya? Itu kuliahnya mahal banget lho, belum lagi kalau butuh alat-alat dan masa praktikum yang panjang.
Bukan hanya sekali sharing dan cerita sama temen yang lulus S-1 yang punya nilai cumlaude, tapi kebingungan nentuin kerjaan. Atau yang mungkin mau lanjut S-2 tapi beda jurusan dengan S-1. Berapa banyak para mahasiswa S-1 yang merasa salah jurusan? Teman saya, usianya adalah sekitar 30-an, lulusan Teknik Kimia, sekarang telah bekerja di bank, gaji dan jabatan memang sangat menjanjikan, tapi baru-baru ini dia curhat kalau dia pengen lanjutin kuliah di S-2 Psikologi. Teman-teman sekantor saya dulu, yang mempunyai bakat bagus di jabatannya, malah dari jurusan yang beragam; adalah pada jurusan hukum, biologi dan lain-lain. Saya sering iseng bilangin ke mereka “Harusnya kalian kaya aku aja dari awal, kuliah di jurusan yang ada di fakultas ekonomi”. Yah ujung-ujungnya jawabannya pasti ngga jauh-jauh dari ini “hmm yak namanya aja hidup”.
Kalau ada orang yang ingin saya kasih nasehat dan bantu nentuin pilihan adalah anak-anak baru yang sudah tamat SMA atau sudah hampir lulus SMA, kalau perlu yang kepo tentang kuliah. Karena saya ngga mau ada generasi penerus yang malah bingung seperti saya, dan akhirnya pindah jurusan. Atau yang mau ngga mau udah harus selesain kuliahnya, karena sudah terlanjur. Atau yang justru di masa-masa skripsinya ia telah sadar, kalau ternyata passion-nya bukanlah itu. Padahal sebenarnya dari SMA juga banyak yang sudah menyadari minatnya apa, minimal adalah dari nilai mata pelajaran.
![]() |
Semoga ke depannya tidak akan ada banyak lagi pandangan yang menganggap kalau gelar dan angka itu adalah segalanya. Karena nilai dari seseorang itu bukan hanya semata-mata dilihat dari gelar, pangkat atau apa yang dia pakai, tapi tentang dirinya sendiri, tentang kepribadiannya yang baik atau buruk. Tentang bermanfaat dan ngga memberi kerusakan ataupun gangguan di lingkungan dan pertemanan. Jadi ke depannya tidak ada lagi yang konspirasi dengan ‘orang dalam’ kampus supaya yang punya IPK yang ngga nyampe 3 bisa diolah, atau adanya surat miskin yang bisa didapatkan oleh orang yang lebih berhak, tetapi malah jatuh ke tangan mahasiswa yang pakai uang beasiswa untuk hura - hura beli handphone merek terbaru misalnya, atau scanning hasil studi punya temen terus diedit - edit lagi. Supaya universitas menjadi tempat yang mencetak pribadi-pribadi jujur dan punya integritas tinggi, bukannya yang malah adem ayem aja melipir dari kantor/sekolah/kampus seperti yang telah saya ceritakan di paragraf satu. Dan akhirnya semoga tidak banyak lagi yang salah jurusan ya!. Hehehee..
Salam Tut Wuri Handayani !
Penulis :
Annisa Mulia Razali
Comments
Post a Comment